Minggu, April 20, 2008

PENYAKIT HATI

Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit.

Dalam hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh. Allah berfirman, artinya:

"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya." (Al-An'am : 122)

Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Dua Bentuk Penyakit Hati

Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an. Allah berfirman, artinya : "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32). Ini yang disebut penyakit syahwat.

Allah juga berfirman, artinya : "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..." (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya : "Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)." (At-Taubah : 125)

Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya.

Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati." *). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya, berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi. Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan. Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat, yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor, ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada teman, dan takut sendirian.

Menyembuhkan Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat

Gejala penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat.
Sesungguhnya Allah berfirman : "Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh." (Fushshilat : 44)

Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.

Cinta dan Sayang Rasulullah kepada Ummatnya

Suatu pagi, Rasulullah SAW dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barangsiapa mencintai sunnahku berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar, dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman bin Affan menghela napas panjang. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.

Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tetapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?", tanyanya. Tetapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk. Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?". "Tak tahulah aku ayah, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," sabda Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?", tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tetapi hal itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?". "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan-lahan ruh Rasulullah ditarik, tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini", lirih Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?", tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu. " Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum (peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu)."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, para sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?". Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya ?. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi. (jos)

Dalam Rengkuhan Al Qur'an

Abu Talhah, suami Ummu Sulaim, suatu hari membaca Al-Qur'an. Ketika sampai pada surat At-Taubah ayat ke-41 yang berbunyi "infiruu khifafawwatsiqaala" (berangkatlah kamu sekalian dalam keadaan merasa ringan ataupun berat), ia menghentikan bacaannya dan berkata, "Aku tidak berpendapat selain Allah SWT. memerintahkan berangkat ke medan perang baik orang muda maupun sudah tua." Saat itu Abu Thalhah sudah berusia lanjut dan punya anak-anak berusia muda.

"Wahai anak-anakku, tolong siapkan segala perlengkapan perangku!" perintah Abu Thalhah. Mendengar perintah yang serius itu, anak-anak Abu Thalhah yang juga singa-singa Allah itu tersentak. Mereka menilai ayahnya terlalu tua untuk turut berperang. Mereka mencoba menahannya. "Ayah, engkau telah berperang bersama Rasulullah SAW. hingga beliau wafat. Engkau juga turut seta berjihad bersama khalifah Abu Bakar sampai beliau dipanggil Allah SWT. Dan engkau pun tak pernah ketinggalan dalam menegakkan kalimatullah bersama Umar bin Khattab sampai beliau pun meninggalkan kita. Oleh karena itu, sekarang cukuplah kami yang terjun ke medan jihad itu."

Tak terlihat perubahan sikap pada diri Abu Thalhah. Bahkan selanjutnya dia berkata, "Wahai anak-anakku, tolong siapkan perlengkapan perangku. Tidakkah kalian tahu bahwa Allah telah memanggil kita yang muda maupun yang tua dengan firmannya "infiruu khifafaw watsqaalaa'."

Akhirnya, Abu Thalhah pun berangkat. Pertempuran yang ia terjuni kali ini pertempuran laut. Dan beliau mendapat kemuliaan syahadah (mati syahid) di tengah lautan. Setelah perjalanan satu pekan di laut, baru kawan-kawannya menemukan dataran untuk mengebumikan jasad asyahid. Yang luar biasa, sampai saat dikebumikan, tubuhnya tak berubah sedikitpun.

Itulah sosok mu'min yang telah menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan hidupnya. Jiwanya, pikirannya, dan seluruh tubuhnya telah benar-benar "dirasuki" kalam ilahi. Orang seperti Abu Thalhah telah menjadi manusia yang hidup di "alam lain". Ia tak lagi terbelenggu dengan jerat-jerat dunia. Ia telah menjadi manusia yang melayang-layang ke angkasa keimanan sehingga selalu siap menerima segalah titah dari Khaliqnya.

Seperti itu pulalah yang dirasakan Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam interaksinya dengan Al-Qur'an. Sayyid Quthb, seperti ungkapannya yang dituangkan dalam mukadimah Fii Dzilaalil Qur'an, merasakan hidup di bawah naungan Al-Qur'an benar-benar penuh kenikmatan, keteduhan, kelapangan jiwa serta kemuliaan yang tiada taranya. Ia merasa diangkat oleh Al-Qur'an sedemikian tinggi di atas segala daya tarik dunia dan propaganda-propaganda murahannya. Ia telah diangkat sedemikian tinggi sehingga dapat melihat kedegilan orang-orang yang ingkar kepada Penciptanya. Ia melihat mereka bagaikan orang dewasa yang sedang memperhatikan bocah-bocah ingusan yang sedang bermain-main dengan lumpur. Jika itu yang dirasakan al-ustadz Sayyid Quthb, amat wajarlah jika ia lebih menyukai kematian mulia, syahadah, ketimbang harus menjadi budak penguasa yang zhalim.

Dalam perjalanan sejarahnya, Al-Qur'an berhasil menghidupkan umat-umat yang "mati". Betapa banyak manusia yang berhati sekeras batu, bengis, dan tak berperikemanusiaan, tiba-tiba menjadi manusia yang gampang mengucurkan air mata di hadapan Penciptanya dan menjadi penegak keadilan yang tangguh. Luar biasa memang Al-Qur'an. Maha Besar Allah yang berfirman: "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami." (QS. Asy-Suura (42) : 52)

Ya, kita juga sekarang bukan tidak pernah membaca Al-Qur'an, namun sudahkah Al-Qur'an benar-benar menjadi ruh bagi kehidupan kita? Sudahkah kita merasa benar-benar diangkat oleh Al-Qur'an sampai ke derajat yang tidak dapat dijangkau oleh manusia biasa? Sudahkah kita terhindar dari rantai-rantai dunia yang membelenggu kita?

MENYIKAPI AL-QUR'AN

Agaknya kita perlu kembali memahami kewajiban kita terhadap Al-Qur'an. Kewajiban-kewajiban itu adalah :

1. TILAWAH

Tilawah (membaca) Al-Qur'an wajib hukumnya. Firman Allah SWT: "Dan bacalah Al-Qur'an secara tartil" (QS. 73:4). Tartil artinya membaca Al-Qur'an dengan tenang (tidak terburu-buru) dan dengan membaca huruf-hurufnya secara jelas. Rasulullah SAW pun bersabda : "Bacalah oleh kalian Al-Qur'an karena ia akan menjadi syafa'at bagi para pembacanya di hari Kiamat." (HR. Muslim, hadits No. 989, hal 414)

Beliau juga memberikan perbandingan antara orang yang rajin membaca Al-Qur'an dengan Muslim yang tidak membaca Al-Qur'an: "Perumpamaan orang mu'min yang membaca Al-Qur'an bagaikan buah utrujjah (sejenis jeruk). Harum baunya, rasanya juga manis. Perumpamaan orang mu'min yang tidak membaca Al-Qur'an bagaikan buah korma. Rasanya manis, tapi tidak berbau harum. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur'an bagaikan buah raihanah. Baunya harum, tapi rasanya pahit. Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qu'an bagaikan buah handzolah. Baunya busuk, rasanya pun pahit." (Muttagaq 'alaih, hadits No. 993, hal 415).

Fadlilah (keutamaan) membaca Al-Qur'an pun luar biasa. Rasulullah SAW. menjanjikan pahala yang luar biasa dari Allah SAW. Sabdanya: "Barangsiapa yang membaca satu huruf Al-Qur'an, maka dia mendapat satu kebaikan, dan satu kebagikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan aliif laam mim satu huruf, melainkan alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR. At-Tirmidzi, hadits No. 997, hal. 416)

Sabdanya pula: "Orang yang membaca Al-Qur'an dengan mahir (fasih dan tidak melakukan kesalahan dalam waqaf, dsb.) bersama malaikat yang selalu taat. Dan orang yang membaca Al-Qur'an dengan terbata-bata dan merasa berat mendapat dua pahala." (Muttafaq 'alaih, hadits No. 992, hal. 415).

Memahami hal itu, tak mengherankan jika para sahabat dalam kesehariannya tidak pernah lupa membaca Al-Qur'an. Semangat mereka dalam membaca Al-Qur'an disamping ibadah ibadah yang lainnya begitu hebat. Sampai-sampai seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Amer bin Al-'Ash pernah punya kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur'an dalam sehari. Namun hal itu tidak direstui oleh Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan agar Abdullah menyelesaikannya dalam satu bulan.

Abdullah berkata, "Ya Rasulullah, aku masih sanggup melakukan yang lebih dari itu." Rasulullah menjawab, " Selesaikanlah dalam dua puluh hari." Abdullah masih minta tambah, "Saya masih bisa menyelesaikanya lebih cepat."

"Selesaikanlah dalam sepuluh hari!" kata Rasulullah SAW. Selanjutnya sampai akhirnya Rasulullah menegaskan, "Selesaikanlah baca Al-Qur'an dalam sepekan dan jangan kurang dari dari itu."

Memang sudah saatnya kita menggulirkan syi'ar "Tiada Hari Tanpa Al-Qur'an". Tidak sedikit Muslimah yang merasa rugi karena satu hari terlewat tanpa baca koran, namun tidak demikian halnya ketika berhari-hari tidak "bersentuhan" dengan Al-Qur'an.

2. TADABBUR

Perlu diingat, Al-Qur'an dibaca bukanlah semata-mata dikejar pahala bacaannya saja. Al-Qur'an hanyalah akan menjadi ruh bagi pembacanya bila disertai dengan tadabbur. Allah berfirman: "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai akal mendapat pelajaran." (QS. 38: 29)

Firman-Nya pula: "Maka, apakah mereka tidak mentabburi Al-Qur'an? Kalau Sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. 4:82)

Tadabbur adalah upaya menghayati dan memahamikandungan Al-Qur'an. Untuk mentadabburi Al-Qur'an ada beberapa langkah yang harus ditempuh.

Pertama, sebelum mulai membaca Al-Qur'an, bertanyalah di dalam hati: "Apakah jiwa saya bersama Allah ataukah bersama yang lainnya?" Sebab, buila jiwa sedang dikuasai oleh masalah-masalah duniawi, sulit rasanya seseorang menjalin hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Kalau jalinan in tidak ada mustahil akan terjadi kontak batin antara dia dnegan Al-Qur'an. Dengan demikian Al-Qur'an baginya hanya merupakan sendandung angin lalu yang tidak meninggalkan bekas 'atsar' sedikitpun dalam dirinya.

Allah menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin memiliki keterpautan hati kepada dua hal yang kontradiktif. Firmannya: "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya." (QS. 33:4)

Kedua, memperhatikan, merenungkan, serta menghayati setiap ungkapan Al-Qur'an yang dibaca. Memang, bila tidak memahai bahasa Arab akan sulit rasanya untuk menghayati ayat Al-Qur'an secara langsung. Namun, tidak adanya penguasaan bahasa Arab janganlah dijadikan penghalang utnuk melakukan tadabbur Al-Qur'an.

Bukankah kita bisa menggunakan terjemahan, misalnya. Ya, habis bagaimana lagi. Kenyataannya tidak cukup banyak Muslim/Muslimah yang menguasai bahasa Al-Qur'an. Lalu, tidak berhakkah mereka menikmati isi Kitabullah ini? Tentu saja kita termasuk kategori in, karena itu kita harus mencari bimbingan dari orang-orang yang berkompentensi dalam bidang tersebut agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam memahami Al-Qur'an ini.

Ketiga, hendaklah kita membaca Al-Qur'an dengan diliputi perasaan bahwa kitalah yang sedang diajak berbicara doleh Allah SWT. Dengan demikian, kita akan benar-benar memasang telinga dan hati untuk menerima segala titah-Nya.

Keempat, memasang akal dan pikiran untuk menangkap isyarat-isyarat yang bersifat kauniyah. Al-qur'an kitab ilmu pengatahuan, Tapi, bukan berarti bahwa segala macam rumus matematika, kimia, ataupun fisika termuat dalam Al-Qur'an. Bukan, Melainkan Al-Qur'an merupakan sumber ilmu pengetahuan dan perangsang tumbuhnya ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tanpa persiapan akal, kita tidak akan dapat mengambil manfaat ayat-ayat yang berbunyai "afala ta'qilum" (apakah kalian menggunakan akal?) dan sejenisnya.

3. MENGHAFAL

Menghafal Al-Qur'an sangat dianjurkan. Bahkan Rasulullan SAW. Mengatakan : "Barangsiapa yang di dalam rongga tubuhnya tidak ada sedikitpun Al-Qur'an, tak ubahnya bagaikan rumah yang bobrok." (HR. At-Tirmidzi, hadits No. 998, hal. 17)

Yang dimaksud dengan tidak ada Al-Qur'an sedikitpun dalam rongga tubuhnya adalah orang yuang tidak memiliki hafalan Al-Qur'an sedikitpun. Ya, paling tidak untuk bekal dia ketika shalat. Insya Allah, jika ketiga hal itu tilawah, tadabbur, dan menghafal Al-Qur'an sudah kita laksanakan, kita akan dapat melaksanakan Al-Qur'an dengan"bashiran", dan penuh kesadaran sehingga kita benar-benar selalu hidup dalam suasana Qur'ani.

Hal lain yang perlu kita ingat, bahwa orang-orang kafir akan selalu bekerja keras untuk menjauhkan umat Islam dari Al-Qur'an dengan tujuan dapat menghancurkan Islam dan mengusasai umatnyu. Sehingga, jangan heran kalau ada pihak-pihak tertentu yang merasa misinya terhambat gara-gara merebaknya belajar membaca Al-Qur'an dengan metode membaca Al-Qur'an Iqra.

PERSYARATAN MASUK SURGA

Salah satu janji Allah bagi orang yang berpuasa adalah surga. Ini termaktub dalam hadits Rasulullah : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhon dengan penuh keimanan dan mengharap ridho Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Akan tetapi tentunya tidak mudah untuk meraih syurga Allah yang mulia tersebut. Harus ada usaha yang maksimal untuk meraihnya.

Dalam kehidupan akhirat yang kita yakini adanya, kita pasti menginginkan memperoleh kehidupan yang bahagia dengan masuk ke dalam surga. Karenanya kita selalu berdo’a agar memperoleh kebahagiaan di akhirat itu disamping kebahagiaan di dunia sekarang ini. Bahkan Nabi Ibrahim AS juga berdo’a agar dimasukkan ke dalam surga, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya: (Ibrahim berdo’a): Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shaleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan (26:83-85).

Kalau kita boleh mengupamakan surga seperti sebuah negara yang akan kita kunjungi, maka untuk bisa masuk ke negara itu tentu ada persyaratan yang harus kita penuhi seperti paspor, visa, uang dll. Perbandingan ini tidaklah tepat betul, karena tidak akan ada penghuni surga yang menjadi pendatang gelap sebagaimana banyak pendatang gelap yang memasuki suatu negeri. Terlepas dari soal itu, demikian pula halnya dengan masuk surga yang persyaratannya harus kita penuhi. Dari banyak hal yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim untuk masuk surga, di dalam Al-Qur’an dapat kita simpulkan persyaratan yang harus kita penuhi. Semua persyaratan itu harus kita penuhi dalam kehidupan kita sekarang, di dunia ini. Semakin lengkap tentu semakin baik. Karena itu, kita tidak boleh menunggu usia mencapai tua untuk bisa memenuhinya, apalagi belum tentu kita bisa mencapai usia, karena sudah terbukti tidak orang yang mati dalam usia masih muda.

IMAN DAN AMAL SHALEH

Iman dan amal shaleh merupakan sesuatu yang harus melekat dalam kepribadian kita. Iman harus kita buktikan dengan amal shaleh dan amal shalehpun harus didasari pada iman. Karena itu, antara iman dengan amal shaleh sering diumpakan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dan tidak boleh dipisah-pisah, gambar uang harus ada pada dua sisinya. Uang tidak akan bisa dijadikan sebagai alat pembayaran apabila gambarnya hanya sebelah. Karena itu, tidak setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah diakui keimanannya, Allah berfirman yang artinya :

Diantara manusia, ada orang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (QS 2:8).

Manakala seseorang telah beriman dan beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya, maka jaminan dari Allah Swt baginya untuk bisa masuk ke dalam surga, Allah berfirman yang artinya:

Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya (QS 2:82).

TAQWA

Secara harfiyah, taqwa artinya memelihara diri. Orang yang bertaqwa adalah orang yang memelihara dirinya dari hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Karena itu, para ulama memberikan ta’rif atau pengertian taqwa, yakni: melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya baik dalam keadaan sunyi maupun ramai. Ini berarti bertaqwa itu bukan hanya melaksanakan perintah Allah tanpa meninggalkan larangan-Nya, juga bukan hanya meninggalkan larangan-Nya tanpa melaksanakan perintah-Nya serta harus kita tunjukkan dimanapun kita berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi serta kondisinya.

Kehidupan umat manusia baru terwujud menjadi kehidupan yang baik, yakni kehidupan yang bermartabat, meskipun secara teknologi sangat sederhana manakala manusia bertaqwa kepada Allah Swt. Namun, meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah dicapai oleh manusia, kehidupan dengan martabat yang rendah bahkan lebih rendah dari binatang ternak akan kita alami bila tidak bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh karena itu, ketaqwaan kepada Allah Swt menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga para khatib di hari Jum’at selalu membacakan ayat yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah (QS 3:102).

Apabila seseorang sudah bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka Allah Swt menyediakan surga untuk tempat tinggal mereka sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS 3:133).

BERJUANG DAN BERKORBAN

Islam merupakan agama yang tidak hanya harus dilaksanakan secara pribadi, tapi juga bersama-sama, baik dalam lingkup keluarga maupun mayarakat. Karena itu Islam harus disebarluaskan dan diperjuangankan penegakkannya dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara hingga dunia internasional. Bila itu yang harus dilakukan, maka diperlukan kemauan untuk berjuang pada setiap muslim dan tiada perjuangan melainkan harus dengan pengorbanan, baik dengan harta maupun jiwa. Oleh karena itu, berjuang dan berkorban di jalan Allah menjadi persyaratan bagi seseorang untuk bisa masuk ke dalam surga. Jangan harap bisa masuk ke dalam surga kalau seseorang tidak mau berjuang dan berkorban dengan segala yang dimilikinya.

Sejarah telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana orang-orang yang mendambakan surga berjuang dan berkorban. Seorang sahabat yang bernama Hanzhalah berangkat ke medan perang meskipun ia masih pengantin baru, bahkan belum sempat mandi junub setelah berhubungan dengan isterinya, ia tinggalkan isteri yang dicintainya, ia maju ke medan jihad dan berhasil membunuh banyak musuh, namun iapun akhirnya mati syahid dan para Malaikat memandikan jenazahnya. Sahabat Mu’adz bin Jabal juga berangkat ke Yaman atas perintah Rasul untuk berdakwah dalam waktu yang lama hingga mencapai keberhasilan membangun masyarakat Islam dan masih banyak lagi orang yang harus kita ceritakan. Semua menunjukkan adanya semangat berjuang dan berkorban dengan segala yang mereka miliki untuk meraih surga yang dijanjikan, Allah berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘And. Itulah keberuntungan yang besar (QS 61:10-12).

TAUBAT

Surga merupakan tempat yang suci dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang suci. Karena itu, bila seseorang ingin masuk ke dalam surga, janganlah ia mati dalam keadaan bergelimang dengan dosa. Untuk itu, setiap manusia harus bertaubat sebelum mencapai kematian. Taubat adalah kembali kepada Allah, sedangkan orang yang berdosa adalah orang yang menjauhi Allah dengan segala ketentuan-Nya. Karena kita tidak tahu kapan kematian akan datang kepada kita dan kita menyadari bahwa kematian itu bisa datang kapan saja, maka di dalam ayat di atas (QS 3:133), taubat harus kita lakukan sesegera mungkin, jangan ditunda besok, pekan depan, bulan depan, tahun depan apalagi kalau ditunda hingga bila usia kita sampai tua, hal ini karena belum tentu kita bisa hidup sampai tua.

Keinginan kita untuk bertaubat harus diwujudkan dengan taubat yang sebenar-benarnya, yakni dengan memahami dan menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan, menyesali kesalahan itu, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu, menyatakan permintaan maaf, dan membuktikan kehidupan yang lebih baik. Bila hal ini sudah kita laksanakan, niscaya Allah Swt memberikan tiket kepada kita untuk bisa masuk ke dalam surga, Allah berfirman yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (QS 66:8).

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa seseorang akan masuk surga atau masuk neraka sangat tergantung pada usahanya dalam kehidupan di dunia ini. Semua orang punya peluang yang sama untuk bisa masuk surga. Bila persyaratan telah dipenuhi dengan baik, tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak memasukkan seseorang ke dalam surga.

Berlomba - lomba dalam Kebaikan

Di dalam Al-Qur’an, baik atau kebaikan menggunakan kata ihsan, birr dan ishlah. Kata ihsan (ahsan dan muhsin) bisa dilihat pada firman Allah yang artinya: Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya (QS 4:125).

Bila dikaitkan dengan hadits tentang kedatangan Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, maka ihsan adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang karena merasakan kehadiran Allah dalam dirinya atau dia merasa diawasi oleh Allah Swt yang membuatnya tidak berani menyimpang dari segala ketentuan-Nya.

Sedangkan kata baik dalam arti birr bisa dilihat pada firman Allah yang artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke ke timur maupun ke barat itu suatu kebaikan, tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan nabi-nabi serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (QS 2:177).

Bila kita kaji ayat-ayat tentang kata al birr, termasuk ayat di atas, maka akan didapat kesimpulan bahwa kebaikan itu menurut Mahmud Syaltut dalam tafsirnya membaginya menjadi tiga, yakni birr dalam aqidah, birr dalam amal dan birr dalam akhlak.

Adapun kata baik dengan menggunakan kata ishlah terdapat dalam banyak ayat, misalnya pada firman Allah yang artinya: Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik (QS 2:220).

Islah (berlaku baik) digunakan penggunaannya dalam kaitan hubungan yang baik antara sesama manusia, di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3 hal 740 dinyatakan: “Islah merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah Swt”.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Namun, kemuliaan manusia ternyata tidak terletak pada keindahan fisiknya. Kalau manusia dianggap mulia dengan sebab badannya yang besar, tentu akan lebih mulia binatang ternak seperti sapi, kerbau, unta, gajah dan sebagainya yang memiliki berat badan yang jauh lebih berat. Karenanya bila manusia hanya mengandalkan kehebatan dan keagungan dirinya pada berat badan, maka dia bisa lebih rendah kedudukannya daripada binatang ternak yang kemuliaannya terletak pada berat badannya. Allah Swt berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekusaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179).

Oleh karena itu, kemuliaan manusia bisa kita pahami dari iman dan amal shaleh atau kebaikannya dalam bersikap dan bertingkah laku, dimanapun dia berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Itu sebabnya, semakin banyak perbuatan baik yang dilakukannya, maka akan semakin mulia harkat dan martabatnya dihadapan Allah Swt. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk berloma-lomba dalam kebaikan sebagaimana firman Allah yang artinya: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS 2:148).

JALAN MENUJU AMAL BAIK

Meskipun kebaikan kita sadari sebagai sesuatu yang harus kita laksanakan, ternyata tidak sedikit orang yang tidak antusias untuk melakukan kebaikan itu. Karena itu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan resep bagi seseorang agar bersemangat melakukan kebaikan.

NIAT YANG IKHLAS

Niat yang ikhlas merupakan faktor penting dalam setiap amal. Karena dalam banyak amal di dalam Islam, niat yang ikhlas merupakan rukun terpenting dan pertama. Niat yang ikhlas karena Allah dalam melakukan kebaikan akan membuat seseorang memiliki perasaan yang ringan dalam mengerjakan amal-amal yang berat sekalipun, apalagi bila amal kebaikan itu tergolong amal yang ringan. Sedangkan tanpa keikhlasan, jangankan amal yang berat, amal yang ringanpun akan terasa menjadi berat. Disamping itu, keikhlasan akan membuat seseorang berkesinambungan (istimrar) dalam amal kebaikan. Orang yang ikhlas tidak akan bersemangat karena dipuji dan tidak akan lemah karenba dicela. Ada pujian atau celaan tidak akan membuatnya terpengaruh dalam melakukan kebaikan.

CINTA KEBAIKAN DAN ORANG BAIK

Seseorang akan antusias melaksanakan kebaikan manakala pada dirinya terdapat rasa cinta pada kebaikan, hal ini karena mana mungkin seseorang melakukan suatu kebaikan apabila dia sendiri tidak suka pada kebaikan itu. Oleh karena itu, rasa cinta pada kebaikan harus kita tanamkan ke dalam jiwa kita masing-masing sehingga kita akan menjadikan setiap bentuk kebaikan sebagai bagian yang tidak akan terpisahkan dalam kehidupan kita, ini akan mermbuat kebaikan selalu menyertai kehidupan ini.

Disamping cinta kepada kebaikan, akan kita suka melakukan kebaikan, harus tertanam juga di dalam jiwa kita rasa cinta kepada siapa saja yang berbuat baik, hal ini akan membuat kita ingin selalu meneladani dan mengikuti segala bentuk kebaikan, siapapun yang melakukannya. Allah Swt telah menyebutkan kecintaan-Nya kepada siapa saja yang berbuat baik, karenanya kitapun harus mencintai mereka yang berbuat baik, Allah berfirman yang artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Alllah mencintai orang-orang yang berbuat baik (QS 2:195).

MERASA BERUNTUNG BILA MELAKUKAN

Berbuat baik merupakan sesuatu yang sangat mulia, karena itu seseorang akan melakukan kebaikan apabila dengan kebaikan itu dia merasa memperoleh keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh manusia bila ia berbuat baik. Pertama, selalu disertai oleh Allah Swt, lihat QS 16:128. Kedua, menambah kenikmatan untuknya, lihat QS 2:58. 7:161.33:29. Ketiga, dicintai Allah, lihat QS 7:161. 5:13. 2:236. 3:134. 3:148. 5:96. Keempat, memperoleh rahmat Allah, lihat QS 7:56. Kelima, memperoleh pahala yang tidak disia-siakan Allah Swt, lihat QS 9:120. 11:115. 12:56. Keenam, dimasukkan ke dalam syurga, lihat QS 5:85. 39:34. 6:84. 12:22. 28:14. 37:80.

MERASA RUGI BILA MENINGGALKAN

Apabila seseorang merasa beruntung dengan kebaikan yang dilakukannya dengan sejumlah keutamaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka bila seseorang tidak berbuat baik dia akan merasa sangat rugi, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bagi seorang mu’min, bagaimana mungkin dia tidak merasa rugi bila tidak melakukan kebaikan, karena kehidupan ini memang harus dijalani untuk mengabdi kepada Allah Swt yang merupakan puncak dari segala bentuk kebaikan yang harus dijalani.

Manakala di dunia ini seseorang sudah merasa rugi, maka di akhiratpun dia akan merasa rugi, karena apa yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya di dunia akan sangat berpengaruh di akhirat, karena kehidupan akhirat pada hakikatnya adalah hasil dari kehidupan di dunia, bila seseorang berlaku baik di dunia, dia akan memperoleh keberuntungan di akhirat disamping keberuntungan di dunia, sedang bila seseorang tidak melakukan kebaikan di dunia, maka dia akan memperoleh kerugian di dunia dan penyesalan yang sangat dalam di akhirat kelak sebagai bentuk dari mengabaikan nilai-nilai Islam, Allah Swt berfirman yang artinya: Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS 3:85).

MENELADANI GENERASI YANG BAIK

Perbuatan baik dan yang lebih baik lagi akan dilakukan oleh seorang muslim apabila dia mau meneladani orang yang berbuat baik, hal ini menjadi penting karena dengan demikian dia menyadari bahwa meskipun perasaannya sudah banyak perbuatan baik yang dilakukannya, tetap saja dia merasa masih sedikit dibanding orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya, hal ini akan memicu semangatnya untuk berbuat baik yang lebih banyak lagi. Karena itu, idealnya seorang mu’min bisa menjadi seperti cermin bagi mu’min lainnya sehingga manakala seseorang mengenal dan memperhatikann dirinya akan merasakan begitu banyak kekurangan, termasuk dalam hal berbuat baik.

MEMAHAMI ILMU KEBAIKAN

Bagi seorang muslim, setiap amal yang dilakukannya tentu harus didasari pada ilmu, semakin banyak ilmu yang dimiliki, dipahami dan dikuasai, maka insya Allah akan makin banyak amal yang bisa dilakukannya, sedangkan makin sedikit pemahaman atau ilmu seseorang, akan semakin sedikit juga amal yang bisa dilakukannya, apalagi belum tentu orang yang mempunyai ilmu secara otomatis bisa mengamalkannya. Ini berarti, seseorang akan semakin terangsang untuk melakukan kebaikan manakala dia memahami ilmu tentang kebaikan itu.

KEBAIKAN YANG DITERIMA

Setiap kebaikan yang dilakukan seseorang tentu harus menghasilkan penilaian yang positif dari Allah Swt. Paling tidak, ada dua kriteria tentang kebaikan yang diterima oleh Allah Swt. Pertama, ikhlas dalam beramal, yakni melakukan suatu amal dengan niat semata-mata ikhlas karena Allah Swt, atau tidak riya dalam arti mengharap pujian dari selain Allah Swt. Karena itu, dalam hadits yang terkenal, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Sesungguhnya amal itu sangat tergantung pada niatnya.

Kedua, melakukan kebaikan itu secara benar, hal ini karena meskipun niat seseorang sudah baik, bila dalam melakukan amal dengan cara yang tidak baik, maka hal itu tetap tidak bisa diterima oleh Allah Swt, karena ini termasuk bagian dari mencari selain Islam sebagai agama (aturan) hidupnya yang jelas-jelas akan ditolak Allah Swt sebagaimana yang sudah disebutkan pada QS 3:85 di atas.

Akhirnya, menjadi jelas bagi kita bahwa hidup ini harus kita jalani untuk mengabdi kepada Allah Swt yang terwujud salah satunya dalam bentuk melakukan kebaikan dan masing-masing orang harus berusaha melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai bentuk konkrit dari perwujudan kehidupan yang baik di dunia dan ini pula yang akan menjadi bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di akhirat kelak.

PUASA, MEMBENTUK SUMBERDAYA MUSLIM

Di dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 90 ayat yang dimulai dengan panggilan atau seruan kepada orang-orang yang beriman dengan kalimat: Hai orang-orang yang beriman, suatu panggilan yang menunjukkan kecintaan dari Allah Swt yang sangat dalam sehingga mereka yang diseru merasakan getaran cinta dari Allah Swt yang membuatnya mudah menerima isi seruan dan siap melaksanakan beban-beban yang terkandung di dalamnya. Itu pula yang terasa dalam perintah melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana Allah berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS 2:183).
Islam sebagai sebuah agama yang benar harus diperjuangkan penegakan dan penyebarluasannya oleh kaum muslimin dengan segala konsekuensinya. Karena itu kaum muslimin harus dipersiapkan kekuatan rohaninya untuk bisa mengemban tugas-tugas perjuangan yang berat itu. Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu upaya untuk membentuk sumber daya muslim agar mampu mengembannya. Paling kurang, ada empat target yang harus dicapai oleh setiap mu’min yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, khususnya dalam konteks mengemban amanah perjuangan menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.

1. MEMANTAPKAN AQIDAH YANG KOKOH

Tujuan utama puasa adalah mempersiapkan hati manusia untuk bertaqwa, sensitif, melembutkan hati dan takut kepada Allah. Taqwa membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan kewajiban, taqwa juga menjaga hati seseorang sehingga ia tidak mau merusak nilai-nilai ibadah puasa dengan maksiat meskipun hanya dengan getaran hati untuk berbuat maksiat. Ketaqwaan kepada Allah Swt merupakan bukti nyata dari kokohnya aqidah seseorang, karenanya puasa dibebankan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah Swt agar keimanan itu dapat menjelma menjadi ketaqwaan yang sempurna. Karena itu taqwa menjadi puncak ketinggian rohani seorang muslim sehingga orang bertaqwalah yang berada pada posisi yang paling mulia di sisi Allah Swt, sebagaimana terdapat dalam firman Allah yang artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS 49:13).

Dalam konteks kehidupan masyarakat yang rusak, tujuan puasa ini menjadi sangat penting. Kokohnya iman menjadi modal utama bagi manusia untuk bisa memperbaiki akhlaknya, dari iman yang kokoh di dalam hati akan terwujud manusia yang berakhlak mulia. Karena itu Sayyid Quthb dalam dzilalnya menyatakan: “Apabila terjadi kerusakan pada suatu generasi manusia, maka untuk memperbaikinya bukan dengan memperketat hukum terhadap mereka melainkan dengan jalan memperbaiki pendidikan dan hati mereka serta menghidupkan rasa taqwa di dalam hati mereka”.

2. MEMANTAPKAN HUBUNGAN DENGAN ALLAH

Salah satu nilai tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah puasa adalah upaya memantapkan hubungan dengan Allah Swt, hal ini karena setiap muslim yang berpuasa harus melaksanakannya karena Allah dan dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah Swt. Sesuatu yang biasanya halal untuk dilakukan atau dinikmati, pada saat berpuasa seorang muslim diharamkan oleh Allah Swt dan ia tunduk saja kepada sang pencipta meskipun ia bisa melakukannya atau memiliki sepenuhnya untuk bisa dinikmati. Ini menunjukkan hubungan yang baik kepada Allah Swt yang menjelma dalam bentuk kepatuhan kepada-Nya, dan untuk itu seorang muslim mampu mengendalikan dan mengatasi tuntutan dari dalam dirinya yang bersifat fisik seperti makan, minum dan kebutuhan seksual.

Terjalinnya hubungan yang dekat kepada Allah Swt merupakan modal yang sangat penting bagi manusia, bahkan tidak hanya untuk mengemban amanah perjuangan tapi juga untuk bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Hubungan manusia yang jauh dengan Allah membuat manusia hanya bisa menyumbang persoalan dalam kehidupan ini, sedangkan masalah yang ada tidak mampu diatasi. Padahal bila manusia merasa dekat dengan Allah dan ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt, niscaya ia tidak berani menyimpang dari ketentuan-Nya dan bila penyimpangan itu sudah terjadi, iapun cepat mengakui kesalahannya hingga memiliki kesiapan untuk menjalani hukuman akibat kesalahan yang dilakukannya, bukan malah sudah salah tapi masih saja tidak merasa bersalah dan mencari seribu dalih untuk bisa menghindar dari hukuman dan berusaha menutupi kesalahan yang telah dilakukannya meskipun harus dengan kesalahan yang lain.

3. MEMANTAPKAN HUBUNGAN DENGAN SESAMA

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin secara serentak di seluruh dunia. Kaum muslimin merasakan satu hal yang sama, yakni lapar dan haus dan sama-sama berjuang untuk mampu menahan dan mengendalikan diri dari melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt meskipun peluang untuk itu sangat besar. Nilai keserentakan ini diharapkan bisa menghasilkan kebersamaan dan hubungan yang baik dengan sesama muslim. Semangat kebersamaan merupakan modal yang sangat berharga bagi upaya perjuangan di jalan Allah Swt, apalagi Dia amat mencintai orang yang berjuang secara bersama-sama dengan kerjasama yang baik, Allah berfirman yang artinya : Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam suatu barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS 61:4).

Salah satu lahan dakwah dan perjuangan yang harus mendapat perhatian besar dari seluruh komponen kaum muslimin adalah masjid-masjid yang sudah dibangun dengan bagus, besar dan megah dan dikeluarkan dana yang besar. Namun kondisi pemakmurannya belum sebanding dengan fisik bangunannya. Untuk bisa memakmurkan masjid sehingga berfungsi sebagai pusat pembangunan masyarakat Islam, diperlukan kebersamaan antara sesama umat Islam, baik sebagai pengurus maupun jamaah. Karena itu harus terjalin kerjasama yang harmonis antara pengurus masjid dengan jamaahnya, bahkan harus terjalin kerjasama antar masjid yang satu dengan masjid lainnya, tidak seperti sekarang, dimana masjid berjalan sendiri-sendiri dengan segala persoalan yang dihadapinya.

4. MEMANTAPKAN JIWA KETABAHAN

Dalam perjuangan dibidang apapun, ketabahan jiwa merupakan sesuatu yang sangat dituntut adanya pada diri para pejuang, demikian pula halnya dengan perjuangan di dalam Islam dengan segala dimensinya yang luas. Namun harus kita sadari bahwa ketabahan tidak muncul dengan sendirinya, masing-masing orang perlu memperoleh pemahaman dan mendapatkan latihan guna memiliki ketabahan. Ibadah puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang memberikan pendidikan dan latihan untuk memiliki ketabahan sehingga seorang muslim yang telah berpuasa semestinya menjadi orang yang memiliki daya tahan yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah Swt meskipun dalam kondisi yang sulit seperti haus dan lapar.

Oleh karena itu, ketika situasi menjadi begitu sulit dalam perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, khususnya sesudah wafatnya Siti Khadijah, seorang isteri dan pendukung perjuangan serta wafat juga Abu Thalib yang sering memberikan perlindungan kepada Nabi dari gangguan orang-orang kafir, maka Allah Swt menegaskan kepada Nabi Muhammad Saw untuk bertahan dan melanjutkan perjuangan, apapun yang terjadi. Hal ini karena kalau berbicara tentang kesulitan, generasi terdahulu juga mengalami kesulitan, bahkan kesulitan yang lebih berat lagi sehingga Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya jangan memiliki sikap atau perasaan yang berlebihan dalam arti merasa sangat sulit dalam perjuangan yang dijalaninya, Allah Swt berfirman yang artinya : Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang bertaubat bersamamu dan janganlaj kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 11:112).

Dengan demikian, momentum ibadah Ramadhan tahun ini menjadi saat yang sangat penting untuk memperbaiki kondisi pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa menuju ridha Allah Swt.

Sabtu, April 19, 2008

TALANG KEPAYANG, The other side of Tanggamus


Kalau anda warga Kabupaten Tanggamus, kemudian ditanya oleh orang dari luar Kabupaten Tanggamus, dimanakah Talang Kepayang? Apa jawab anda? Oh, apakah ini nama makanan baru? Atau ini nama jenis buah? Atau karena ada kata kepayang, berkaitan dengan cintakah?

Tetapi ternyata bukan itu semua. Talang Kepayang adalah salah satu dusun dari ribuan dusun di Kabupaten Tanggamus. Dan wajar bila tidak banyak yang tahu, seperti talang-talang lain, umbulan-umbulan lain, dusun dusun lain yang bertebaran di seantero tanggamus. Talang bagi warga Tanggamus adalah sekelompok penduduk yang tinggal ditengah kebun atau hutan. Mulanya hanya tempat tinggal sementara, tetapi ada yang kemudian membesar seperti Talang Padang yang sekarang menjadi ibukota Kecamatan, tetapi banyak juga yang tetap saja dari jaman orangtua kita membuka lahan, sampai sekarang juga tetap seperti itu.

Salah satu diantara Talang yang tidak berkembang adalah Talang Kepayang tadi. Letaknya di Pekon Datar Lebuay Kecamatan Pulau Panggung, dan merupakan salah satu Talang, seperti Talang Pancasila, Talang Jakarta, dan yang lainnya. Jumlah penduduknya ada 58 kepala keluarga, dan sudah menempati sejak tahun 1969. Berbagai macam issue pernah menerpa mereka. Pernah diisuekan kalau mereka menempati lahan hutan lindung dan harus pindah. Juga diisuekan ketika proses pembangunan waduk batu tegi, kalau mereka terkena penenggelaman. Tetapi kalau diwilayah lain mendapat penggantian, mereka tidak. Setelah itu juga diisuekan kalau mereka akan tenggelam oleh genangan waduk.

Dimanakah Talang Kepayang? Kalau jarak, dari ibukota kabupaten berjarak kurang lebih 40 km di hulu waduk Batu Tegi. Kalau berapa lama kesana? Akan ada dua jawaban. Waktu hujan atau waktu kering. Kalau waktu kemarau, hanya 40 menit kita sudah akan disuguhi deretan rumah warga Talang Kepayang yang mengumpul, setelah kita melewati kebun kopi, kebun coklat, pohon2 cempedak dan durian. Ditengah lembah, itulah Talang Kepayang. Dari Tekad ibukota Kecamatan Pulau Panggung kearah Batu tegi, tetapi tidak membelok di Way Harong, dan mengikuti jalan aspal yang sudah dihotmix. Sampai ujung hotmik di pekon Air Naningan, kita teruskan perjalanan di jalan tanah lalu menyeberang jembatan gantung yang menghubungkan dua bukit, kita akan merasakan sport jantung yang lumayan mendebarkan bagi yang takut ketinggian. Ini jembatan baru yang yang dibuat oleh Otorita Batu Tegi menggantikan jembatan gantung buruk buatan masyarakat yang terletak 100 m disebelah hilir jembatan baru. Selewat jembatan gantung kita disuguhi jalan tanah di pekon induk Datar Lebuay. Inilah pertanyaan berapa lama sampai ke Talang Kepayang bermula. Dari jembatan gantung jalan tanah membentang keseluruh bagian pekon Datar Lebuay dan keseluruh Talang, umbulan dan dusunnya sampai ke pekon Sinar Jawa sejauh 8 km.

Kalau kita ditanya berapa lama ke Talang Kepayang dari ibu kota Kabupaten Tangamus? Jawabnya diwaktu hujan atau di waktu Kemarau? Kalau diwaktu kemarau cukup 40 menit. Tetapi kalau dimusim penghujan? Bisa jadi anda harus menginap atau kalau punya nyali menghadapi jalan tanah, dan ban motor dilingkari rantai bisa jadi 2 jam anda baru sampai di pekon Air Naningan. Itulah yang saya alami pada tanggal 1 Januari 2007 yang lalu. Karena ada keperluan yang mengharuskan saya ke Talang Kepayang, pagi ketika matahari bersinar terik dan jalanan kering saya berangkat dan hanya 30 menit dari Gisting ke Talang Kepayang. Tak dinyana dan diduga, siang ketika waktunya pulang hujan deras mengguyur dari langit. Setelah menunggu hujan reda, keberangkatan pulang dilakukan. Dengan perjuangan sengit, jatuh berkali-kali bahkan sempat main Lumpur skating dengan motor dengan lama waktu untuk menempuh 1 km dengan waktu satu jam setengah itupun karena kami berombongan sehingga bisa ta’awun (tolong menolong) sampailah dipekon induk Datar Lebuay. Perjalan panjang melewati jalan berlumpur selesailah.

Kalau kita berjalan dari Bandar Lampung ke Kota Agung, melewati berbagai desa, kecamatan dan kota di Kabupaten Tanggamus, terasa sekali geliat pembangunan. Hampir setiap jalan masuk, gang bahkan jalan setapak sudah tersentuh pembangunan. Jalan besar dihotmik, latasir atau lapen, gang dilatasir, lapen atau paving, bangunan sekolah direhab, puskesmas dibangun dan direhab, wajah kota dihias dengan lampu warna warni, sehingga tidak minder disbanding dengan daerah lainnya, atau bahkan bisa berbangga. Ini lho Kabupatenku.

Tapi kalau anda masuk ke Talang Kepayang, bisa jadi timbul Tanya, ini masih bagian dari Tanggamus? Geliat pembangunan tidak menyentih mereka. Swadaya masyarakat luar biasa. Di Talang ini ada Madrasah Ibtidaiyah Swasta, Al Hikmah namanya. Madrasah Tsanawiyah ada di Pekon induk. Semuanya swadaya masyarakat. Tapi hanya dana BOS yang masih mengaitkan mereka dengan pemerintah selain kewajiban beli rapor dan ikut Ujian Nasional (UN). Madrasah Ibtida’iyahnya sempat masuk daftar akan dibantu pemda 20 juta di tahun 2006. Tetapi sampai tahun 2006 berakhir dan tahun 2007 sudah terlewati beberapa minggu, tidak ada khabar beritanya. Diberi tahu apakah menerima atau tidak, juga tidak.

Berulangkali masyarakat usul, jalan di onderlagh, sekolah minta dibantu, tetapi hingga kini mereka cukup dengan kebanggaan, pembangunan di Tanggamus menggeliat. Untuk Talang Kepayang? Bisa jadi permohonan maaf sementara cukup.

Bahaya Penyakit Dengki

Salah satu sifat yang harus dihindari dalam kita berpuasa adalah menghindari sifat dengki. Dalam hadits Rasulullah, beliau mengingatkan bahwa bisa jadi seorang yang berpuasa hanya dapat lapar dan haus saja, kalau si shoimin tersebut tidak bisa meninggalkan penyakit-penyakit hati diantaranya : dengki. Kedengkian bisa menghancurkan amal seperti api yang menghancurkan kayu bakar.

Definisi Dengki (Hasad)

Muhammad Al Ghazali: “Perasaan tidak senang terhadap orang yang mendapat ni’mat dan sebaliknya yaitu merasa senang melihat orang kehilangan ni’mat.”

Said Hawwa: “Mengharapkan lenyapnya ni’mat dari orang yang di dengki.”

Tercelanya kedengkian

Ketahuilah bahwa kedengkian termasuk buah iri hati, sedangkan iri hati termasuk hasil amarah.

“Adakah mereka merasa iri hati terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dari kurnia-Nya” (QS An-Nisa’:54)

“ Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain” (QS An Nisa 32)

“Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” HR Adu Dawud dari Abu Hurairah)

Hakekat Kedengkian

Ketahuilah bahwa tidak ada kedengkian kecuali terhadap ni’mat. Apabila Allah melimpahkan ni’mat kepada saudara anda maka ada dua keadaan :

1. Anda membenci dan menginginkan lenyapnya ni’mat itu disebut kedengkian.

2. Anda tidak menginginkan lenyapnya ni’mat itu, tidak membenci keberadaan dan keberlangsungannya, tetapi anda menginginkan ni’mat yang serupa bagi anda. Ini disebut Ghibthah dan kadang disebut munafasah (persaingan).

Tingkatan Kedengkian

1. Menginginkan lenyapnya ni’mat dari orang lain sekalipun ni’mat itu tidak berpindah kepada dirinya. Hal ini merupakan puncak keburukan.

2. Menginginkan lenyapnya ni’mat dan berpindah kepadanya karena ia sangat menginginkan ni’mat itu. Apa yang dituntutnya adalah ni’mat itu bukan kelenyapannya darinya. Apa yang tidak disukainya adalah dalah hilangnya ni’mat itu, bukan kenikmatan yang dini’mati oleh orang lain itu.

3. Tidak menginginkan ni’mat itu sendiri untuk dirinya tetapi menginginkan ni’mat yang serupa. Jika tidak bisa mendapatkan ni’mat yang serupa maka ia menginginkan lenyapnya ni’mat itu agar tidak muncul perbedaan antar keduanya.

4. Menginginkan ni’mat yang serupa untuk dirinya dan jika tidak bisa mendapatkannya maka ia tidak menginginkan kelenyapannya dari saudaranya.

Sebab-sebab kedengkian dan Munafasah

1. Permusuhan dan Kebencian

2. Ta’azzuz (Rasa keberatan jika seseorang lebih unggul dari dirinya)

3. Kesombongan

4. Ta’ajub (Heran, koq orang lain yang diberikan keni’matan bukan dia)

5. Takut tidak mendapatkan yang diinginkan

6. Cinta kepemimpinan dan mencarai kedudukan untuk dirinya, tanpa mencapai suatu tujuan.

7. Buruknnya jiwa dan kekikirannya untuk berbuat baik kepada hamba-hamba Allah.

Kiat menghindari hasad

1. Ilmu, seperti Allah Maha pemberi Rizki, diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya dan dihilangkan dari siapa yang dikehendakiNya

2. Amal seperti menghukum kedengkian dengan kegiatan/aktivitas nyata yang berbeda 180 derajat dari kedengkian yang timbul, misal: Jika kedengkian telah mendorongnya untuk mencela orang, maka ia mewajibkan dirinya untuk memuji dan menyanjungnya, dsb.

3. Menelusuri sebab-sebab kedengkian dan berusaha mengantisipasinya seperti:

a. Kesombongan

b. Egoisme dan

c. Besarnya ambisi terhadap hal yg tidak bermanfaat.

Maroji’:

1. Al Qur’anul Karim, Terjemahan Depag RI.

2. Intisari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Konsep Tazkiyatunnafs Terpadu, Said Hawwa, Terbitan Robbani Press. Tahun 2000.

3. Akhlaq Seorang Muslim, Muhammad Al Ghazali, Terbitan Wicaksana Semarang. Tahun 1986.

4. Riyadhussholihin II, Salim Bahreisy, PT Al Ma’arif Bandung

RAHASIA PUASA

Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.

Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.

1. Menguatkan Jiwa.

Dalam hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (QS 45:23).

Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizalimi (HR. Tirmidzi).

2. Mendidik Kemauan.

Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Saw menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran.

Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.

3. Menyehatkan Badan.

Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.

4. Mengenal Nilai Kenikmatan.

Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.

Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasaakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).

5. Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain.

Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya. Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103).

Setelah kita mengetahui rahasia-rahasia puasa tersebut, tentunya harus ada tekad di dalam diri kita untuk lebih meningkatkan pengamalan di dalam bulan Ramadhon ini. Selain itu, bulan Ramadhon ini merupakan starter untuk kita beribadah lebih baik sesudah bulan Ramadhon.

Selain itu, ibadah kita di bulan Ramadhon tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu, dan sebagai persiapan untuk lebih baik lagi ditahun yang akan datang, kalau Allah masih memperkenankan kita bertemu dengan Bulan Ramadhon di tahun depan.

Keadilan suatu Keniscayaan

Sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan bahwa kezhaliman dan ketidakadilan telah menyeret manusia ke dalam jurang kenestapaan dan kesengsaraan serta melahirkan kehancuran di berbagai bidang kehidupan


Ayat-ayat al-Qur`an banyak menjelaskan hukum Allah yang berkaitan dengan akibat-akibat kezhaliman dan nasib bangsa-bangsa yang dikuasai dan menyerah terhadap kezhaliman yang menindasnya.

Ketika kezhaliman merajalela tata nilai direduksi secara masif, kemerdekaan diperkosa, harga diri manusia dicampakkan, struktur kehidupan ambruk, lingkungan rusak, dan masa depan manusia terus-menerus dibayang-bayangi ketakuatan dan ketidakpastian. Dalam politik, kezhaliman melahirkan kediktatoran dan penindasan. Dalam sosial, kezhaliman melahirkan kekejaman dan kesewenang-wenangan. Dalam aqidah, kezhaliman melahirkan kemunafikan dan kemusyrikan. Dalam ekonomi, kezhaliman melahirkan kemiskinan dan kemelaratan. Dalam kebudayaan, kezhaliman melahirkan arogansi dan kegelapan. Kezhaliman menghalangi manusia dari usahanya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi serta membelenggu seluruh kreatifitasnya.

Sebaliknya keadilan membentuk kelembutan, kasih sayang, saling harga-menghargai, dan menjadikan manusia memungkinkan dirinya mampu mencapai puncak prestasi. Keadilan menciptakan kehidupan yang imbang dan harmonis sejalan dengan tata alam semesta. Dalam kehidupan yang penuh keadilan semua manusia memperoleh hak-hak sahnya secara adil dan dengan bebas mengekspresikan kehendak dan kreatifitasnya secara jujur dan bertanggungjawab.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Seluruh ummat manusia sependapat bahwa akibat kezhaliman adalah kerusakan, dan nilai dari keadilan adalah kemuliaan. Karena itu, seperti disebut dalam sebuah riwayat, Allah akan menolong negara yang benar-benar menegakkan keadilan meskipun negara itu tidak mengklaim sebagai negara Islam, dan Dia tidak akan menolong negara yang zhalim meskipun negara tersebut mengklaim sebagai negara Islam.”

Di bagian lain Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa ''keadilan adalah sistem dari segala sesuatu. Apabila urusan dunia ditangani secara adil, maka dunia akan tegak berdiri, walaupun yang menerapkannya orang yang tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat (karena dia seorang kafir). Sebaliknya, apabila urusan dunia tidak ditangani dengan keadilan, maka dunia tidak akan pernah tegak, meskipun yang menanganinya seseorang yang memiliki keimanan, yang akan mendapatkan pahala di akhirat.” (Al-Hisbah fi al-Islam, hal. 6 dan 94).

Allah menciptakan keadilan sebagai asas setiap ketetapan syari'at. Dengan asas itu perjalanan hidup manusia di dunia dan akhirat dijamin akan berada di jalan lurus. Struktur aqidah tauhid, yang merupakan inti da'wah seluruh Nabi dan Rasul, bermuara pada keadilan. Allah berfirman:

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS, Al-An'am: 115)

Manusia diciptakan Allah dalam keadaan adil dan seimbang serta dilengkapi dengan potensi diri yang sempurna (82: 6-8; 95: 4). Di sisi lain potensi alam telah ditundukkan oleh Allah SWT sebagai fasilitas bagi manusia . Di dalamnya terkandung hukum-hukum keseimbangan . Selain itu, dalam rangka menjamin keselamatan hidup manusia, Allah SWT menurunkan agama kebenaran. Oleh sebab itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi tanggungjawab untuk mengarahkan kehidupan ke jalan yang benar, sesuai dengan pola dan kehendak Allah. Dan dikarenakan manusia dikaruniai kemerdekaan memilih sehingga ia menjadi satu-satunya makhluk moral, maka setiap manusia memiliki tanggungjawab moral untuk menata kehidupan dengan adil, seimbang dan fithri. Tata kehidupan yang adil, seimbang, dan fithri hanya mungkin wujud bila manusia sebagai subyek mampu menyelaraskan totalitas hidupnya dengan pola dasar kehendak Allah dan hukum-hukum-Nya.

Oleh karena itu, seorang muttaqi memiliki potensi besar untuk menjadi penegak keadilan yang sejati. Mengapa? Orang yang bertaqwa ialah orang yang pola hidupnya sejalan dengan perintah Allah dan selalu menjauhi hal-hal yang dapat melahirkan kerusakan dan ketidakseimbangan hidup. Selain itu mengapa orang bertaqwa memiliki potensi kuat untuk menegakkan keadilan, karena dalam pandangannya menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tujuan luhur dalam Islam. Sebab, karena keadilanlah langit dan bumi ditegakkan, dan untuk keadilan pula Allah mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-kitab-Nya. Firman Allah:

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dam Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkas.” (QS, All-Hadid: 25).

Oleh sebab itu, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, Islam sangat menekankan tegaknya keseimbangan antara penguasa dan rakyat, antara majikan dan buruh, antara produsen dan konsumen, antara penjual dan pembeli, bahkan antara individu muslim dan lingkungannya, dengan cara mencegah mereka berbuat zhalim. Maka setiap undang-undang atau peraturan yang dapat menegakkan keadilan akan selalu direspon oleh syari'ah.

Atas dasar kenyataan tersebut, maka keadilan hanya dapat diwujudkan oleh manusia yang dirinya benar-benar menyadari bahwa kewajiban menegakkan keseimbangan tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan dan misi penciptaannya.

Para ulama Al-Salafu al-shalih mendefinisikan adil atau keadilan itu sebagai ''meletakkan sesuatu di tempatnya tanpa melampaui batas. Menurut mereka, melampaui batas itu adalah dosa dan perkosaan. Setinggi-tinggi derajat keadilan adalah keadilan aqidah dalam mengakui keesaan Allah, hak-Nya untuk disembah bukan ditentang, disyukuri bukan diingkari, untuk diingat bukan dilupakan.

Sedangkan Sayid Quthub lebih menekankan pada dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Menurut Sayid Quthub, keadilan itu bersikap inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu sekalipun yang menetapkan keadilan itu seorang muslim untuk non-muslim.

Arti generik kata qisth, bermakna adil, bagian, timbangan atau keadilan. Kata ini mengandung penekanan pada konsep keadilan yang berkaitan dengan hak-hak manusia secara seimbang. Yusuf Ali menyoroti kata al-'adl dalam al-Qur`an sebagai suatu istilah yang bersifat konprehensif yang mencakup semua kebajikan dan kemanusiaan. Sedangkan kata al-qisth diartikan olehnya dengan persamaan dan jujur.

Secara historis, pentingnya penegakkan prinsip keadilan telah dibuktikan oleh Rasulullah SAW di negara Madinah. Keadilan mendapat posisi penting dalam konstitusi atau lebih populer disebut Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara Madinah. Dalam pasal 2-10 dinyatakan bahwa orang-orang mu`min harus berlaku adil dalam membayar diat dan menebus tawanan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Esensi ketetapan pasal-pasal tersebut agar permusuhan dan dendam tidak berkelanjutan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga hubungan sosial dan silaturahmi mereka tetap harmonis. Ini hanya bisa terwujud bila semua pihak merasakan adanya keadilan. Kemudian pasal 13 menuntut orang-orang mu`min bersikap adil dalam menentang para pelaku kejahatan, ketidakadilan, dan dosa, sekalipun terhadap anaknya sendiri. Sebab, seorang mu`min yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau orang terdekatnya yang melakukan perbuatan dosa, merupakan cermin sikap yang tidak adil. Seorang mu`min yang adil menentang siapa saja yang melakukan kejahatan agar ketidakadilan tidak merajalela.

Demikian pula bila orang-orang mu`min mengadakan perjanjian damai harus atas dasar persamaaan dan keadilan di antara mereka (pasal 17). Perlakuan secara adil juga diberikan kepada warga negara golongan nonmuslim, kaum Yahudi dengan mendapat perlindungan dan persamaan seperti yang diperoleh kaum muslimin (pasal 16)

Dari ketetapan tersebut dapat ditegaskan bahwa prinsip keadilan menjadi salah satu sistem perundang-undangan negara Madinah. Semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial politik. Artinya, sebagai sesama manusia semua warga harus memperoleh hak yang sama untuk mendapatkan keadilan.

Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang menekankan pentingnya keadilan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam sebuah perjalanan politik misalnya, Allah berfirman:

''Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan ihsan.''(QS, al-Nahl: 90).

''Berbuat adillah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat adil'' (QS, al-Hujurat: 9). '

"Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehingga kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, itulah yang lebih dekat kepada taqwa'' (QS, al-Ma`idah: 8).

Rasulullah SAW bersabda:

''Sesungguhnya orang yang berbuat adil di sisi Allah berada di atas mimbar cahaya di sebelah kanan Allah. Kedua-dua tangan sebelah kanan. Orang-orang yang adddil dalam hukum dan keluarganya dan apa yang mereka perbuat.''

Memperhatikan uraian di atas kita dapat memahami betapa pentingnya keadilan dalam seluruh tingkat kehidupan manusia, baik dalam tingkat kehidupan individu ataupun sosial, baik dalam urusan peribadi, keluarga, sosial kemasyarakatan, ataupun dalam urusan politik dan pemerintahan. Khusus mengenai urgnesi keadilan dalam sebuah pemerintahan Al-Mawardi menegaskan bahwa keadilan adalah sikap dan tindakan yang melahirkan persatuan, menumbuhkan ketaatan, memakmurkan negeri, mengembangkan kekayaan, memperkokoh generasi, dan menstabilkan jalannya pemerintahan. Sebaliknya, menurut Al-Mawardi, perbuatan tidak adil merupakan sumber kehancuran negeri dan kerusakan moral. Untuk mendukung tesisnya itu ia mengutip dua buah hadits:

“Seburuk-buruk bekal untuk hari yang telah dijanjikan (hari akhirat) adalah kelaliman terhadap sesama hamba.”

"Tiga hal yang dapat menyelamatkan, yaitu: takut kepada Allah SWT dalam keadaan sembunyi atau terang-terangan, bersikap adil baik dalam keadaan ridha atau dalam keadaan marah, dan hemat baik dalam keadaan miskin atau dalam keadaan kaya. Dan tiga hal yang dapat membinasakan, yaitu: hawa nafsu yang selalu dituruti, kikir yang selalu ditataati, dan bangga terhadap dirinya sendiri.” (HR, Abu Syaikh).

Selanjutnya, al-Mawardi membagi keadilan menjadi keadilan pada diri seseorang dan keadilan pada orang lain. Keadilan pada orang lain terbagi tiga: (1) keadilan pada orang yang secara status berada di bawahnya (misalnya pemimpin pada rakyatnya), (2) keadilan pada orang yang secara status berada di atasnya (misalnya rakyat pada pemimpinnya), dan keadilan pada orang yang secara status setingkat. (lebih luas lihat Adabu al-Dunya wa al-Din).

Menurut Ibnu Taimiyah keadilan sebagai syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam maupun bukan. Alasannya ialah, “keadilan merupakan ciri alamiah segala sesuatu. Bila keadilan menjadi dasar bentuk suatu pemerintahan, maka sangat mungkin kesuksesan akan diraih, siapapun yang mengendalikan pemerintahan itu. Sebaliknya pemerintahan yang zhalim mungkin sekali terjerumus dalam kehidupan tanpa arti meskipun terbungkus dengan berbagai ragam kewajiban pemerintah” (lihat al-Hisbah fi al-Islam, hal.81)

Oleh sebab itu, ada semacam kewajiban agama bagi seluruh warga (yang mampu tentunya) untuk melakukan penentangan terhadap kezhaliman yang dilakukan penguasa. Sebab, kezhaliman penguasa dapat memupus harapan dan menjauhkan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Maka barangsiapa yang menentang mereka (pemerintah yang zhalim) itu, terlepaslah ia (dari dosa). Dan barangsiapa yang menjauhi mereka, selamatlah ia atau nyaris selamat. Dan barangsiapa yang jadi berkumpul (bercampur) dengan mereka di dalam urusan keduniaan mereka, maka ia termasuk dari kalangan mereka. Yang demikian itu sebabnya ialah karena barangsiapa yang menjauhi mereka itu, selamatlah ia dari kedurhakaan mereka, tetapi ia tidak akan selamat dari siksa umum yang akan menimpa dengan merata kepadanya beserta mereka apabila siksa itu diturunkan atas mereka dikarenakan tidak mau menentang dan menyangkalnya (pemerintah yang zhalim).” (HR, Thabrani)

Dalam bidang penerapan hukum, Islam mewajibkan ditegakkannya hukum secara adil walaupun kepada orang bukan muslim. Fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa ummat Islam konsern terhadap keadilaan dalam menegakkan hukum. Kisah perselisihan antara Amirul Mu`minin Ali bin Abu Thalib dengan seorang Yahudi yang kemudian hakim memutuskan memenangkan Yahudi merupakan fakta sejarah bahwa keadilan berada di atas kekuatan. Padahal orang Yahudi sangat terkenal kejahataan dan kecurangannya seperti dijelaskan firman Allah SWT berikut:

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk memeinta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS, Al-Ma`idah: 42)

Dalam bidang-bidang yang menyangkut mua'malah dalam dunia perekonomian, misalnya dalam masalah takaran dan timbangan, kaum muslimin dituntut menyempurnakannya dengan adil. Firman Allah:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS, Al-An'am: 152)

“Dan Syu'aib berkata, “Wahai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(QS, Hud: 85)

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”(QS, 55: 9).

Selain itu orang mu`min diperintahkan selalu komitmen pada asas keadilan dalam kaitan hubungan antarbangsa. Orang mu`min diperintahkan berbuat baik dan memberi apa yang menjadi hak dan bagian non-muslim yang tidak memerangi dan mengusir mereka karena alasan agama. Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dan mereka dinilai sebagai cermin sikap taqwanya. Firman Allah:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil." (QS: Al-Mumtahanah: 8)

“ Berlaku adillah kamu karena berlaku adil lebih dekat kepada taqwa” (QS, Al-Ma`idah: 8).

Realisasi prinsip keadilan menurut Islam mengandung sisi keagamaan sebagai cerminan perilaku orang-orang mu`min dan sisi kemanusiaan sebagai penghormatan kepada hak-hak asasi manusia atas dasar prinsip persamaan seluruh manusia. Prinsip ini menjadi fondasi untuk memperoleh keadilan yang menyeluruh. Karena itu prinsip keadilan relevan diundangkan Nabi dalam Konstitusi Madinah untuk mendampingi prinsip-prinsip lainnya yang realisasinya pada intinya berdampak pada terwujudnya keadilan.

Oleh sebab itu, tegaknya keadilan menjadi tuntutan abadi dan universal setiap insan di manapun di muka bumi ini. Maka menegakkan keadilan adalah salah satu kewajiban manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya. Manusia dituntut untuk berlaku adil pada setiap sisi kehidupannya, individual ataupun sosial. Sebab, keadilan selain keperluan dasar kehidupan manusia dalam hubungannya dengan yang lainnya, juga dapat melahirkan kebaikan di antara sesama manusia dan lingkungannya. Keadilan akan melahirkan ketenteraman. Maka tujuan Islam dalam konteks kehidupan sosial adalah menciptakan keadilan sosial (social justice).

Perintah menegakkan keadilan dalam bentuk kata kerja perintah dinyatakan secara jelas dalam berbagai ayat, baik yang berasal dari kata 'adl maupun dari kata qisth. Misalnya firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS, Al-Ma`idah: 8)

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berkata adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS, Al-An'am: 152)

Di samping itu, masih banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan kata perintah dengan tidak menggunakan kata perintah langsung namun mengandung perintah menegakkan keadilan, Misalnya firman-firman Allah berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak, dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."”(QS: Al-Nisa: 135).

“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS, Al-Ma`idah: 42)

“Dan Syu'aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS, Hud: 85).

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS, Al-Rahman: 9).

Ada pula ayat-ayat yang tidak menggunakan kata perintah namun secara eksplisit mengandung perintah menegakkan keadilan. Misalnya firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS, Al-Nahl: 90).

“Katakanlah, Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlashkan keta'atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali (kepada-Nya).” (QS, Al-A'raf: 29)

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah menurutkan hawa nafsu mereka dan katakanlah, “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.” (QS, Al-Syura: 15).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di anatara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS, Al-Nisa: 58).

Memperhatikan ayat-ayat tersebut kita dapat meanangkap kandungan makna yang menunjukkan bahwa menegakkan keadilan adalah kewajiban syariat bagi orang-orang mukmin. Kewajiban ini sebagai konskuensi iman kepada Allah Yang Maha Adil dan sebagai tindakan persaksian bagi-Nya. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran."”(QS, Al-Nisa :135)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS, Al-Ma`idah: 8)

Akhirnya, keadilan tak mungkin wujud kalau hukum dan aturan Allah tidak ditegakkan. Sebab, keadilan adalah ciri dan watak alamiah. Karena itu apabila keadilan telah menjadi fenomena umum dalam kehidupan manusia, maka kehidupan akan seimbang. Sedangkkan keseimbangan hidup akan melahirkan kebahagiaan yang ditandai oleh adanya ketenteraman dan kesejahteraan yang merata. Sebaliknya bila keadilan tidak menjadi acuan utama kehidupan maka kehidupan manusia akan sengsara. Sedangkan sumber ketidakadilan adalah interfensi hawa nafsu yang terus-menerus dirangsang dan dikobarkan oleh aturan-aturan dan hukum-hukum buatan manusia. Segala bentuk ketidakadilan sangat dikecam dalam Islam. Sebuah hadits yang disebut dalam Musnad Imam Ibnu Hambal menegaskan, “Makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil, sedangkan makhluk yang paling dibenci Dia adalah pemimpin yang zhalim.”

Atas dasar itu maka pemimpin yang zhalim tidak patut ditaati atau diikuti karena kezhaliman yang dilakukannya memupus fungsi kepemimpinannya. Konsekuensi penekanan kepada keadilan dalam pemerintahan yang sah adalah diakuinya hak dan kewajiban bagi setiap individu untuk menuntut keadilan dari pemegang kekuasaan politik !