KILUAN : SURGA YANG TERSEMBUNYI
Sore itu ada khabar yang mengejutkan tetapi menyenangkan, saya diminta mengisi tausyiah di dusun Kiluan pekon Kiluan Negeri Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus. Mengejutkan karena rencananya saya akan ke Kiluan tanggal 23 Juli 2011, sehingga sudah adaa beberapa agenda padaa tanggal tersebut. Tapi menyenangkan, karena sudah lama kami (saya dan istri) ingin ke Kiluan dan belum diberi kesempatan. Beberapa kali sebenarnya melewati wilayah tersebut, tetapi belum sempat berbelok ke Kiluan.
Sebelumnya memang sudah santer tentang Pantai Kiluan, salah sedikit dari daerah laut yang menyimpan potensi yang jarang lagi ada, Lumba – lumba ( Stenella Longirostris )di habitat aslinya. Bahkan dengar2 lebih banyak orang bule yang berkunjung dibandingkan dengan warga Indonesia. Sebagai penduduk asli Tanggamus malu saya dibuatnya, kenapa orang lain lebih banyak tahu tentang Teluk Kiluan, sementara saya belum.
Dengan semangat 45, istri dan anak2 saya kontak dan dipersiapkan. Waktunya tinggal 2 hari sementara saya sedang tidak ada di rumah. Pagi Jumat saya masih harus mengisi acara FORTASI di SMK Muhammadiyah Gisting dan waktu Jumat ada jadwal Khotib Jumat di Masjid Al Ikhlas Blok 21 Gisting Atas Kec. Gisting, sementara janjian jam 13.00 berangkat ke Kiluan dari Gisting. Benar saja, baru saja turun dari Masjid sudah ditelpon mengingatkan kalau Jam 13.00 harus berangkat. Dengan persiapan yang mengebut siaplah kami berangkat jam 13.30. Bersama saya ada Dedi Sutomo Wartawan Tribun Lampung wilayah Tanggamus, dan Budi dari L TV Bandar Lampung. Hujan mengiringi keberangkatan kami. Dengan pertimbangan kondisi Jalan kalau hujan, akhirnya diputuskan melewati Bandar Lampung. Jadi untuk ke Kiluan yang wilayah Kab. Tanggamus kami harus melewati Pringsewu – Pesawaran – Bandar Lampung – Pesawaran baru masuk ke Pekon Kiluan Negeri Kec, Kelumbayan. Perjalanan diteembuh lima jam dengan acara nyasar kira2 20 menit, karena memang tidak ada rambu arah dan kebetulan tempat nyasar jalannya lebih bagus.
Adzan maghrib terdengar ketika kami melewati Desa Sukarame Kec. Punduh Pidada Kab. Pesawaran. Setelah meminta pendapat seluruh penumpang akhirnya diputuskan untuk sholat maghrib di Kiluan. Alhamdulillah, Jam 18.35 tiba dirumah kepala Pekon Kiluan Negeri, Kadek Sukrisna, keturunan Bali yang ada di Kiluan Negeri. Kalau kita melihat Lampung dari Dusun 1 Kiluan Negeri, yang tergambar adalah rumah2 dengan pure didepannya, penjor yang melengkung di hampir setiap rumah, dan bau dupa yang meyergap hidung, asosiasi kita langsung menuju ke Bali. Ya benar di pekon ini ada 36 kk beragama Hindu Bali dari 368 kk penduduk Kiluan Negeri. Kami disambut oleh Kepala pekon dirumahnya yang berasitektur modern dan tradisional. Setelah sholat maghrib di Masjid Pekon, kami putuskan untuk makan malam dan menginap di Pulau Kelapa yang berjarak 10 menit berperahu. Perahu bermesin dengan 2 cadik berkapasitas 3 – 5 penumpang dewasa.
Setelah makan malam dan mengisi tausyiah, saya dan keluarga memutuskan untuk menginap di pulau, meskipun kepala pekon mempersilahkan tinggal di rumahnya. Kawan2 wartawan yang menyambut ajakan kepala pekon. Ada sensasi tersendiri, terutama bagi anak2 menginap di tempat penginapan di tengah pulau.
Pulau Kelapa adalah salah satu Pulau kecil yang ada di teluk Kiluan, ada satu unit bungalow dengan 6 kamar yang dapat disewa Rp. 150.000/kamar/malam. Sayangnya fasilitas MCK masih seadanya, dan air tawarnya (masih berasa payau) menimba dari sumur didepan bungalow dengan dinding dari plastik. Toilet ada dibelakang rumah, tapi airnya harus bawa sendiri.
Pantainya berpasir putih lembut, dengan ombak yang tenang karena dilindungi pulau2 kecil di depannya. Malam itupun angin tidak berhembus kencang, bahkan dikamar terasa panas. Tapi nyenyak sekali tidur, baru Jam 04.15 terbangun, itupun karena dibangunkan anak bungsu karena mau pipis.
Setelah sarapan pagi dengan menu nasi goreng, kami bersiap melakukan perjalanan yang di tunggu2, berburu lumba-lumba. Tapi alat berburunya kamera, kamera video dan handphone. Rombongan di bagi 3 – 3, karena satu katir ( perahu dengan lebar 45 cm – 75 cm, bercadik ganda dengan motor sebagai penggeraknya) hanya boleh membawa 3 penumpang, kecuali kami dengan 5 penumpang , 3 dewasa 2 anak2. Seteoah semua memakai baju penyelamat, kami naik ke katir masing2 dan memulai perjalanan hunting dolphin. Mulanya perjalanan biasa saja, karena masih berada di teluk yang hampir tidak bergelombang. Baru terasa sebenarnya ketika keluar dari wilayah teluk Kiluan dan menuju laut lepas untuk melihat lumba2 di habitatnya. Pagi itu, kata driver katir, ombak sedang tidak bersahabat. Ombak besar langsung menyergap kami dimulut teluk, basah semua terhempas ombak terutama istri yang ada di depan sendiri. Sempat ciut juga nyali, wah segini pengorbanan untuk meihat lomba2 (saya sempat berdoa memohon dan menitipkan selembar nyawa ditangan Allah Yang Maha Kuasa)
Tapi anak2 memang luar biasa, entah karena memang tabah atau tidak tahu bahayanya seandainya katir ini tenggelam, malah bercanda dan ber nyanyi2. Perjalanan ternyata harus terus ketengah, karena ditempat yang dekat biasanya lumba2 mencari makan tidak ditemukan. Satu jam yang terasa lama sekali, untungnya langit dinaungi mendung sehingga tidak panas, Apalagi saya lupa memakai topi. Saya sempat bernyanyi dalam hati (ndak berani bernyanyi dengan mulut, karena adrenalin terpacu) ketika ombak datang dengan tinggiya yang tiba2 enghempas kami, dan ketika ombak lewat, seperti tenggelam karena disekitar hanya air. Kawan2 yang lain tidak terlihat. Nyanyian yang saya ingat : Nelayan Tuanya Iin Parlina yang populer dipertengahan 70an : Inilah kisahku tentang nelayan tua, sendiri mencari nafkah di samudra, perahu terbalik tenggelam dimakan hiu. Seribu camar berlayangan, mereka duka lautpun sunyi suara.
Perjalan semakin ketengah laut, tetapi ombak lebih tenang. Agak lama kami mencoba berubah ubah arah untuk mencari dimana gerangan si mulut moncong? Tiba2 disebelah kiri kami terlihat serombongan lumba2 berenang searah dengan perahu kami. Dengan isyarat tangan driver kami memberitahu rombongan lain tentang posisi si mulut botol (moncong ikan lumba2 seperti botol), setelah beberapa perahu katir mendekat, lumba2 hilang ditelang lautan. Kami belum puas, dan meminta driver terus mencari. Setelah berjalan kira2 10 menit tiba2 ada serombongan besar lumba2 disebelah kanan kami dan lebih atraktif dari pertemuan pertama. Tustelo dan hp berkamera menjalankan fungsinya. Nampak lumba2 berlompatan, bahkan beberapa ekor melompat lebih tinggi se olah2 beratraksi disekitar rombongan kami. Disebelah kiri juga nampak rombongan lumba2 meskipun tidak seatraktif rombongan sebelah kanan.
Seperti kedatangannya, keperginnya pun tiba2 dan hilang begitu saja tanpa tanda2. Setelah berputar kami memutuskan pulang kembali ke pulau Kelapa, dan sempat singgah di rumah terapung yang juga disewakan kepada yang berminat. Sesampai di pantai dilanjutkan dengan berenang dilaut didepan pulau. Disinilah malapetaka terjadi, HP yang digunakan untuk memfoto lumba2 masuk kedalam laut, dan sampai sekarang belum dapat diperbaiki. Sebelumnya juga kamera ngadat ndak bisa dipakai, karena batu baterai habis dan batu cadangan gak ketemu. Jadilah cerita ini tidak dilengkapi gambar2 yang menakjubkan. Mulai dari katir tempat kami berburu, lumba2 dan indahnya pemandangan disepanjang jalan.
Setelah mengelilingi pulau yang ternyata punya pemandangan berbeda, ditempat kami mendarat dan menginap ombaknya tenang sehingga aman bagi anak2 untuk berenang, disisi lain pulau (si arah barat dari kami mendarat) ombaknya besar dan pantainya berkarang. Konon disisi ini ada gugusan karang yang cukup indah, sayangnya saya tidak siap untuk snorkeling. Dan waktunyapun terbatas, karena hanya sisa waktu sambil menunggu makan siang datang.
Setelah kembali ketempat semula, makanan sudah siap terhidang, dan ..... makanan favorit termasuk yang terhidang. Ikan kerapu karang dengan saus cubik (santan kelapa mentah dengan bumbu yang hemmmm ditambah sambal tempoyak). Meskipun seadanya nikmat sekali. Saya lihat si bungsu hanya makan ikannya dan balakutak (sebangsa cumi2 tapi bentuknya gepeng) tanpa menyentuh nasinya. Setelah agak dipaksa barulah nasinya dimakan dengan tempoyak.
Selesai makan dan bersih2 lingkungan kembalilah rombongan ke pulau sumatra. Ramah tamah sedikit dengan kepala pekon, serta numpang berganti pakaian. Setelah sholah dzuhur dan Asyar dijamak, di masjid pekon, pulanglah kami ke Gisting. Kembali melalai jalan yang penuh lubang dan masih banyak yang rusak, serta sempat mobil harus diangkat rame2 karena nyangkut di bebatuan.
Bagi pecinta wisata laut, perjalanan ke Kiluan melalui Bandar Lampung menjadi perjalanan yang memanjakan. Sepanjang jalan laut membentang, dengan tempat2 yang sayang kalau dilewatkan.Mulai TPI Lempasing, tempat cari ikan segar, pantai mutun di pesawaran, juga pantai lagoon Maytam dikomplek TNI AL, pantai kelapa rapat (Klara) dan banyak tempat dengan nama yang belum dikenal.
Sampai rumah sudah jam 20.00, dan karena sholat maghrib dan Isya sudah dijama’, tanpa menunggu lama dengkur anak2 yang terdengar. Semoga mimpi indah naik lumba2. (Foto2 menyusul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar