Sabtu, April 19, 2008

Keadilan suatu Keniscayaan

Sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan bahwa kezhaliman dan ketidakadilan telah menyeret manusia ke dalam jurang kenestapaan dan kesengsaraan serta melahirkan kehancuran di berbagai bidang kehidupan


Ayat-ayat al-Qur`an banyak menjelaskan hukum Allah yang berkaitan dengan akibat-akibat kezhaliman dan nasib bangsa-bangsa yang dikuasai dan menyerah terhadap kezhaliman yang menindasnya.

Ketika kezhaliman merajalela tata nilai direduksi secara masif, kemerdekaan diperkosa, harga diri manusia dicampakkan, struktur kehidupan ambruk, lingkungan rusak, dan masa depan manusia terus-menerus dibayang-bayangi ketakuatan dan ketidakpastian. Dalam politik, kezhaliman melahirkan kediktatoran dan penindasan. Dalam sosial, kezhaliman melahirkan kekejaman dan kesewenang-wenangan. Dalam aqidah, kezhaliman melahirkan kemunafikan dan kemusyrikan. Dalam ekonomi, kezhaliman melahirkan kemiskinan dan kemelaratan. Dalam kebudayaan, kezhaliman melahirkan arogansi dan kegelapan. Kezhaliman menghalangi manusia dari usahanya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi serta membelenggu seluruh kreatifitasnya.

Sebaliknya keadilan membentuk kelembutan, kasih sayang, saling harga-menghargai, dan menjadikan manusia memungkinkan dirinya mampu mencapai puncak prestasi. Keadilan menciptakan kehidupan yang imbang dan harmonis sejalan dengan tata alam semesta. Dalam kehidupan yang penuh keadilan semua manusia memperoleh hak-hak sahnya secara adil dan dengan bebas mengekspresikan kehendak dan kreatifitasnya secara jujur dan bertanggungjawab.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Seluruh ummat manusia sependapat bahwa akibat kezhaliman adalah kerusakan, dan nilai dari keadilan adalah kemuliaan. Karena itu, seperti disebut dalam sebuah riwayat, Allah akan menolong negara yang benar-benar menegakkan keadilan meskipun negara itu tidak mengklaim sebagai negara Islam, dan Dia tidak akan menolong negara yang zhalim meskipun negara tersebut mengklaim sebagai negara Islam.”

Di bagian lain Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa ''keadilan adalah sistem dari segala sesuatu. Apabila urusan dunia ditangani secara adil, maka dunia akan tegak berdiri, walaupun yang menerapkannya orang yang tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat (karena dia seorang kafir). Sebaliknya, apabila urusan dunia tidak ditangani dengan keadilan, maka dunia tidak akan pernah tegak, meskipun yang menanganinya seseorang yang memiliki keimanan, yang akan mendapatkan pahala di akhirat.” (Al-Hisbah fi al-Islam, hal. 6 dan 94).

Allah menciptakan keadilan sebagai asas setiap ketetapan syari'at. Dengan asas itu perjalanan hidup manusia di dunia dan akhirat dijamin akan berada di jalan lurus. Struktur aqidah tauhid, yang merupakan inti da'wah seluruh Nabi dan Rasul, bermuara pada keadilan. Allah berfirman:

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS, Al-An'am: 115)

Manusia diciptakan Allah dalam keadaan adil dan seimbang serta dilengkapi dengan potensi diri yang sempurna (82: 6-8; 95: 4). Di sisi lain potensi alam telah ditundukkan oleh Allah SWT sebagai fasilitas bagi manusia . Di dalamnya terkandung hukum-hukum keseimbangan . Selain itu, dalam rangka menjamin keselamatan hidup manusia, Allah SWT menurunkan agama kebenaran. Oleh sebab itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi tanggungjawab untuk mengarahkan kehidupan ke jalan yang benar, sesuai dengan pola dan kehendak Allah. Dan dikarenakan manusia dikaruniai kemerdekaan memilih sehingga ia menjadi satu-satunya makhluk moral, maka setiap manusia memiliki tanggungjawab moral untuk menata kehidupan dengan adil, seimbang dan fithri. Tata kehidupan yang adil, seimbang, dan fithri hanya mungkin wujud bila manusia sebagai subyek mampu menyelaraskan totalitas hidupnya dengan pola dasar kehendak Allah dan hukum-hukum-Nya.

Oleh karena itu, seorang muttaqi memiliki potensi besar untuk menjadi penegak keadilan yang sejati. Mengapa? Orang yang bertaqwa ialah orang yang pola hidupnya sejalan dengan perintah Allah dan selalu menjauhi hal-hal yang dapat melahirkan kerusakan dan ketidakseimbangan hidup. Selain itu mengapa orang bertaqwa memiliki potensi kuat untuk menegakkan keadilan, karena dalam pandangannya menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tujuan luhur dalam Islam. Sebab, karena keadilanlah langit dan bumi ditegakkan, dan untuk keadilan pula Allah mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-kitab-Nya. Firman Allah:

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dam Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkas.” (QS, All-Hadid: 25).

Oleh sebab itu, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, Islam sangat menekankan tegaknya keseimbangan antara penguasa dan rakyat, antara majikan dan buruh, antara produsen dan konsumen, antara penjual dan pembeli, bahkan antara individu muslim dan lingkungannya, dengan cara mencegah mereka berbuat zhalim. Maka setiap undang-undang atau peraturan yang dapat menegakkan keadilan akan selalu direspon oleh syari'ah.

Atas dasar kenyataan tersebut, maka keadilan hanya dapat diwujudkan oleh manusia yang dirinya benar-benar menyadari bahwa kewajiban menegakkan keseimbangan tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan dan misi penciptaannya.

Para ulama Al-Salafu al-shalih mendefinisikan adil atau keadilan itu sebagai ''meletakkan sesuatu di tempatnya tanpa melampaui batas. Menurut mereka, melampaui batas itu adalah dosa dan perkosaan. Setinggi-tinggi derajat keadilan adalah keadilan aqidah dalam mengakui keesaan Allah, hak-Nya untuk disembah bukan ditentang, disyukuri bukan diingkari, untuk diingat bukan dilupakan.

Sedangkan Sayid Quthub lebih menekankan pada dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Menurut Sayid Quthub, keadilan itu bersikap inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu sekalipun yang menetapkan keadilan itu seorang muslim untuk non-muslim.

Arti generik kata qisth, bermakna adil, bagian, timbangan atau keadilan. Kata ini mengandung penekanan pada konsep keadilan yang berkaitan dengan hak-hak manusia secara seimbang. Yusuf Ali menyoroti kata al-'adl dalam al-Qur`an sebagai suatu istilah yang bersifat konprehensif yang mencakup semua kebajikan dan kemanusiaan. Sedangkan kata al-qisth diartikan olehnya dengan persamaan dan jujur.

Secara historis, pentingnya penegakkan prinsip keadilan telah dibuktikan oleh Rasulullah SAW di negara Madinah. Keadilan mendapat posisi penting dalam konstitusi atau lebih populer disebut Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara Madinah. Dalam pasal 2-10 dinyatakan bahwa orang-orang mu`min harus berlaku adil dalam membayar diat dan menebus tawanan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Esensi ketetapan pasal-pasal tersebut agar permusuhan dan dendam tidak berkelanjutan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga hubungan sosial dan silaturahmi mereka tetap harmonis. Ini hanya bisa terwujud bila semua pihak merasakan adanya keadilan. Kemudian pasal 13 menuntut orang-orang mu`min bersikap adil dalam menentang para pelaku kejahatan, ketidakadilan, dan dosa, sekalipun terhadap anaknya sendiri. Sebab, seorang mu`min yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau orang terdekatnya yang melakukan perbuatan dosa, merupakan cermin sikap yang tidak adil. Seorang mu`min yang adil menentang siapa saja yang melakukan kejahatan agar ketidakadilan tidak merajalela.

Demikian pula bila orang-orang mu`min mengadakan perjanjian damai harus atas dasar persamaaan dan keadilan di antara mereka (pasal 17). Perlakuan secara adil juga diberikan kepada warga negara golongan nonmuslim, kaum Yahudi dengan mendapat perlindungan dan persamaan seperti yang diperoleh kaum muslimin (pasal 16)

Dari ketetapan tersebut dapat ditegaskan bahwa prinsip keadilan menjadi salah satu sistem perundang-undangan negara Madinah. Semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial politik. Artinya, sebagai sesama manusia semua warga harus memperoleh hak yang sama untuk mendapatkan keadilan.

Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang menekankan pentingnya keadilan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam sebuah perjalanan politik misalnya, Allah berfirman:

''Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan ihsan.''(QS, al-Nahl: 90).

''Berbuat adillah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat adil'' (QS, al-Hujurat: 9). '

"Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehingga kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, itulah yang lebih dekat kepada taqwa'' (QS, al-Ma`idah: 8).

Rasulullah SAW bersabda:

''Sesungguhnya orang yang berbuat adil di sisi Allah berada di atas mimbar cahaya di sebelah kanan Allah. Kedua-dua tangan sebelah kanan. Orang-orang yang adddil dalam hukum dan keluarganya dan apa yang mereka perbuat.''

Memperhatikan uraian di atas kita dapat memahami betapa pentingnya keadilan dalam seluruh tingkat kehidupan manusia, baik dalam tingkat kehidupan individu ataupun sosial, baik dalam urusan peribadi, keluarga, sosial kemasyarakatan, ataupun dalam urusan politik dan pemerintahan. Khusus mengenai urgnesi keadilan dalam sebuah pemerintahan Al-Mawardi menegaskan bahwa keadilan adalah sikap dan tindakan yang melahirkan persatuan, menumbuhkan ketaatan, memakmurkan negeri, mengembangkan kekayaan, memperkokoh generasi, dan menstabilkan jalannya pemerintahan. Sebaliknya, menurut Al-Mawardi, perbuatan tidak adil merupakan sumber kehancuran negeri dan kerusakan moral. Untuk mendukung tesisnya itu ia mengutip dua buah hadits:

“Seburuk-buruk bekal untuk hari yang telah dijanjikan (hari akhirat) adalah kelaliman terhadap sesama hamba.”

"Tiga hal yang dapat menyelamatkan, yaitu: takut kepada Allah SWT dalam keadaan sembunyi atau terang-terangan, bersikap adil baik dalam keadaan ridha atau dalam keadaan marah, dan hemat baik dalam keadaan miskin atau dalam keadaan kaya. Dan tiga hal yang dapat membinasakan, yaitu: hawa nafsu yang selalu dituruti, kikir yang selalu ditataati, dan bangga terhadap dirinya sendiri.” (HR, Abu Syaikh).

Selanjutnya, al-Mawardi membagi keadilan menjadi keadilan pada diri seseorang dan keadilan pada orang lain. Keadilan pada orang lain terbagi tiga: (1) keadilan pada orang yang secara status berada di bawahnya (misalnya pemimpin pada rakyatnya), (2) keadilan pada orang yang secara status berada di atasnya (misalnya rakyat pada pemimpinnya), dan keadilan pada orang yang secara status setingkat. (lebih luas lihat Adabu al-Dunya wa al-Din).

Menurut Ibnu Taimiyah keadilan sebagai syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam maupun bukan. Alasannya ialah, “keadilan merupakan ciri alamiah segala sesuatu. Bila keadilan menjadi dasar bentuk suatu pemerintahan, maka sangat mungkin kesuksesan akan diraih, siapapun yang mengendalikan pemerintahan itu. Sebaliknya pemerintahan yang zhalim mungkin sekali terjerumus dalam kehidupan tanpa arti meskipun terbungkus dengan berbagai ragam kewajiban pemerintah” (lihat al-Hisbah fi al-Islam, hal.81)

Oleh sebab itu, ada semacam kewajiban agama bagi seluruh warga (yang mampu tentunya) untuk melakukan penentangan terhadap kezhaliman yang dilakukan penguasa. Sebab, kezhaliman penguasa dapat memupus harapan dan menjauhkan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Maka barangsiapa yang menentang mereka (pemerintah yang zhalim) itu, terlepaslah ia (dari dosa). Dan barangsiapa yang menjauhi mereka, selamatlah ia atau nyaris selamat. Dan barangsiapa yang jadi berkumpul (bercampur) dengan mereka di dalam urusan keduniaan mereka, maka ia termasuk dari kalangan mereka. Yang demikian itu sebabnya ialah karena barangsiapa yang menjauhi mereka itu, selamatlah ia dari kedurhakaan mereka, tetapi ia tidak akan selamat dari siksa umum yang akan menimpa dengan merata kepadanya beserta mereka apabila siksa itu diturunkan atas mereka dikarenakan tidak mau menentang dan menyangkalnya (pemerintah yang zhalim).” (HR, Thabrani)

Dalam bidang penerapan hukum, Islam mewajibkan ditegakkannya hukum secara adil walaupun kepada orang bukan muslim. Fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa ummat Islam konsern terhadap keadilaan dalam menegakkan hukum. Kisah perselisihan antara Amirul Mu`minin Ali bin Abu Thalib dengan seorang Yahudi yang kemudian hakim memutuskan memenangkan Yahudi merupakan fakta sejarah bahwa keadilan berada di atas kekuatan. Padahal orang Yahudi sangat terkenal kejahataan dan kecurangannya seperti dijelaskan firman Allah SWT berikut:

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk memeinta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS, Al-Ma`idah: 42)

Dalam bidang-bidang yang menyangkut mua'malah dalam dunia perekonomian, misalnya dalam masalah takaran dan timbangan, kaum muslimin dituntut menyempurnakannya dengan adil. Firman Allah:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS, Al-An'am: 152)

“Dan Syu'aib berkata, “Wahai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(QS, Hud: 85)

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”(QS, 55: 9).

Selain itu orang mu`min diperintahkan selalu komitmen pada asas keadilan dalam kaitan hubungan antarbangsa. Orang mu`min diperintahkan berbuat baik dan memberi apa yang menjadi hak dan bagian non-muslim yang tidak memerangi dan mengusir mereka karena alasan agama. Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dan mereka dinilai sebagai cermin sikap taqwanya. Firman Allah:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil." (QS: Al-Mumtahanah: 8)

“ Berlaku adillah kamu karena berlaku adil lebih dekat kepada taqwa” (QS, Al-Ma`idah: 8).

Realisasi prinsip keadilan menurut Islam mengandung sisi keagamaan sebagai cerminan perilaku orang-orang mu`min dan sisi kemanusiaan sebagai penghormatan kepada hak-hak asasi manusia atas dasar prinsip persamaan seluruh manusia. Prinsip ini menjadi fondasi untuk memperoleh keadilan yang menyeluruh. Karena itu prinsip keadilan relevan diundangkan Nabi dalam Konstitusi Madinah untuk mendampingi prinsip-prinsip lainnya yang realisasinya pada intinya berdampak pada terwujudnya keadilan.

Oleh sebab itu, tegaknya keadilan menjadi tuntutan abadi dan universal setiap insan di manapun di muka bumi ini. Maka menegakkan keadilan adalah salah satu kewajiban manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya. Manusia dituntut untuk berlaku adil pada setiap sisi kehidupannya, individual ataupun sosial. Sebab, keadilan selain keperluan dasar kehidupan manusia dalam hubungannya dengan yang lainnya, juga dapat melahirkan kebaikan di antara sesama manusia dan lingkungannya. Keadilan akan melahirkan ketenteraman. Maka tujuan Islam dalam konteks kehidupan sosial adalah menciptakan keadilan sosial (social justice).

Perintah menegakkan keadilan dalam bentuk kata kerja perintah dinyatakan secara jelas dalam berbagai ayat, baik yang berasal dari kata 'adl maupun dari kata qisth. Misalnya firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS, Al-Ma`idah: 8)

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berkata adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS, Al-An'am: 152)

Di samping itu, masih banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan kata perintah dengan tidak menggunakan kata perintah langsung namun mengandung perintah menegakkan keadilan, Misalnya firman-firman Allah berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak, dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."”(QS: Al-Nisa: 135).

“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS, Al-Ma`idah: 42)

“Dan Syu'aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS, Hud: 85).

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS, Al-Rahman: 9).

Ada pula ayat-ayat yang tidak menggunakan kata perintah namun secara eksplisit mengandung perintah menegakkan keadilan. Misalnya firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS, Al-Nahl: 90).

“Katakanlah, Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlashkan keta'atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali (kepada-Nya).” (QS, Al-A'raf: 29)

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah menurutkan hawa nafsu mereka dan katakanlah, “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.” (QS, Al-Syura: 15).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di anatara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS, Al-Nisa: 58).

Memperhatikan ayat-ayat tersebut kita dapat meanangkap kandungan makna yang menunjukkan bahwa menegakkan keadilan adalah kewajiban syariat bagi orang-orang mukmin. Kewajiban ini sebagai konskuensi iman kepada Allah Yang Maha Adil dan sebagai tindakan persaksian bagi-Nya. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran."”(QS, Al-Nisa :135)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS, Al-Ma`idah: 8)

Akhirnya, keadilan tak mungkin wujud kalau hukum dan aturan Allah tidak ditegakkan. Sebab, keadilan adalah ciri dan watak alamiah. Karena itu apabila keadilan telah menjadi fenomena umum dalam kehidupan manusia, maka kehidupan akan seimbang. Sedangkkan keseimbangan hidup akan melahirkan kebahagiaan yang ditandai oleh adanya ketenteraman dan kesejahteraan yang merata. Sebaliknya bila keadilan tidak menjadi acuan utama kehidupan maka kehidupan manusia akan sengsara. Sedangkan sumber ketidakadilan adalah interfensi hawa nafsu yang terus-menerus dirangsang dan dikobarkan oleh aturan-aturan dan hukum-hukum buatan manusia. Segala bentuk ketidakadilan sangat dikecam dalam Islam. Sebuah hadits yang disebut dalam Musnad Imam Ibnu Hambal menegaskan, “Makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil, sedangkan makhluk yang paling dibenci Dia adalah pemimpin yang zhalim.”

Atas dasar itu maka pemimpin yang zhalim tidak patut ditaati atau diikuti karena kezhaliman yang dilakukannya memupus fungsi kepemimpinannya. Konsekuensi penekanan kepada keadilan dalam pemerintahan yang sah adalah diakuinya hak dan kewajiban bagi setiap individu untuk menuntut keadilan dari pemegang kekuasaan politik !

Tidak ada komentar: